September 30, 2009
Suara langkah yang di seret mengisi kesunyian di bukit sore itu. Sekuat tenaga Soo hwa berlari menghindari kejaran namja yang ingin merampas sesuatu darinya. Jempol kakinya yang sobek akibat tersandung batu tadi tak membuatnya sedikit pun berpikiran untuk menyerah. Nafasnya tersengal-sengal, sementara dua namja yang mengejarnya tampak santai mengikutinya dari jarak sepuluh meter. Raut wajah namja-namja itu seperti mengisyaratkan kata menyerahlah, berlari hingga mati pun tak akan berarti apapun. Soo hwa tahu dirinya tak mungkin bisa berlari lebih jauh lagi, namun ia tak akan menyerah begitu saja dan menyerahkan harta yang amat berharga baginya sebagai wanita.
Benar saja, Soo hwa hampir saja terperosok kedalam jurang sedalam sepuluh meter. Sebelah tangannya berpegangan erat pada batang pohon pinus, sedangkan satunya lagi menggenggam hardcasing biola kesayangannya. Gadis itu memekik. Berteriak meminta tolong pada siapapun yang ada. Tapi sepertinya dewi fortuna tidak sedang berpihak kepadanya.
Kedua pemuda tadi tertawa sinis. Young byul menarik paksa lengan Soo hwa. Namun gadis itu menolak dan meronta di genggamannya, mau tak mau Dong soo ikut membantu aksi keji temannya itu. Soo hwa berteriak histeris ketika namja itu merobek bagian atas seragamnya. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Soo hwa. Gadis itu terdiam, ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Air matanya sudah tumpah sejak tadi. Di saat seperti ini ia berharap Cha Hyun Soo datang menyelamatkannya, seperti kisah-kisah yang ia baca di buku-buku fiksi. Soo hwa tersenyum miris, mengingat hal itu.
“Cepat mainkan sebuah lagu untukku” perintah Young byul pada gadis lusuh yang ada di hadapannya.
Soo hwa melirik sinis namja itu, “Kau pikir kau siapa? Apa maumu sebenarnya?” pekik Soo hwa tak terima. Gadis itu mendapat hadiah jambakan dari Dong soo “Kami adalah orang yang akan membantumu mencapai puncak tertinggi di muka bumi, kau tau? Tidak semua orang bisa merasakannya.” Desah Dong soo di telinga gadis itu. “Kau lihat ini,” lanjutnya sambil menunjukkan sebuah video yang memperlihatkan kekasihnya, Hyun Soo. Yang sedang di paksa bunuh diri. Soo hwa tercekat, ingin rasanya ia berteriak dan meludahi setiap orang yang sedang mempermainkan keadaan, membuatnya terpojok dan merasa bersalah. Gadis itu akhirnya menyerah dengan perasaannya. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi karena keegoisannya.
Kedua namja itu tersenyum bengis melihat soo hwa memainkan sebuah lagu yang mengalun dari biolanya. Entah mengapa lagu yang sangat indah itu kini terdengar menyayat. Rasa sesak yang kian mencekik tak di rasanya lagi, mengingat hal apa saja yang akan terjadi setelah ini dan bagaimana keadaan Hyun Soo, ia tidak tahu.
Gadis itu tengah menghayalkan sesuatu ketika sepasang tangan milik Young byul menarik biolanya dan melemparkannya ke sembarang dan menghantam kayu pinus di belakangnya. “Cepat suntik dia, kita tidak punya waktu lagi.” Titah young byul pada Dong soo.
Dong soo segera mengeluarkan sebuah suntikan kecil dari saku blazer-nya.
“Apa yang kalian inginkan huh?” pekik soo hwa ketika Young byul menahan kedua lengannya.
Dong soo tak ingin membuang kesempatan itu, ia segera menyuntikan cairan perangsang ke lengan kiri soo hwa. Soo hwa memberontak, menunjang-nunjang ke segala arah, tapi itu tak berlangsung lama. Karena detik berikutnya, ia merasakan sesuatu yang aneh dan panas di dalam darahnya. Matanya kini sudah berkunang-kunang, pikirannya pun melayang-layang. Perasaan yang sungguh aneh yang belum pernah di rasakannya. Soo hwa tidak tahu apa yang telah di lakukan oleh kedua namja itu setelah ia di suntik. Tapi ia ingat betul wajah siapa yang di lihatnya sebelum ia pingsan, Hyun Soo berdiri di sana tanpa berbuat apapun, memandanginya dengan tatapan yang sungguh sulit di artikan.
. . . . . . . .
September 9, 2013.
Deru angin tak menyurutkan langkah seorang namja yang sedang menuju sekolah barunya. Hawa aneh tiba-tiba saja meniup bulu kuduknya ketika memasuki pekarangan sekolah,. Namun perasaan itu segera di tepisnya dengan mengusap-usap bagian belakang lehernya. Ia berdiri sejenak untuk memandangi bagunan empat lantai yang sebentar lagi akan menjadi tempat belajarnya yang baru.
Cha seung woo segera meneruskan perjalanan menuju ke kelas barunya. Segera setelah ia memasuki pintu aula besar, semua pasang mata menatap ngeri ke arah benda yang sedang ia tenteng. Seolah-olah ia sedang meneteng mayat korban mutilasi. Namun lagi-lagi ia menepis semua pandangan itu. Namja itu terus berjalan santai menuju kelas barunya.
Mulanya tak ada yang menghiraukan kedatangannya, sampai ada salah seorang murid melihat sesuatu yang menurutnyaterlarang.
“Hei, coba lihat itu, apa yang dia pegang!” bisik siswi itu pada teman sebangkunya, yang lain juga ikut menoleh pada namja yang berdiri di depan kelas.
Suara-suara berisik tadi perlahan menghilang. Seung woo agak terkejut mendapati tatapan yang mengerikan seperti tadi terjadi lagi. Dia mulai merasa risih dengan tatapan-tatapan seperti itu. Rasanya seperti, Ia di pergoki melakukan tindakan criminal.
“Ck, lihat itu apa yang dia lakukan. Anak baru yang tidak sopan, aku heran kenapa sekolah mau menerima murid yang tidak tahu sopan santun sepertimu.” Sembur salah seorang siswa laki-laki yang dengan santainya menghempaskan kakinya di atas meja Seung woo.
Seung woo sudah menduga hal ini akan terjadi, dia hanya menganggapnya sebagai gertakan biasa. Tidak heran kalau Ia dengan santainya menjawab, “Kurasa perkataan itu lebih pantas untukkmu.” Ucap Seung woo sinis. Ucapan itu sukses menyulut petasan dan segera siap untuk meledak.
“Apa katamu? Dasar kau…,” baru saja siswa itu akan melayangkan tinjunya, Kim seongsangnim berhasil menggagalkan aksinya. Mereka semua serempak kembali ke tempat masing-masing.
“Anyeonghaseo”
“Anyeonghaseo”
“wah, sepertinya kita kedatangan siswa baru, bisakah kau maju dan memperkenalkan dirimu di depan kelas?” itu perintah, bukan permintaan. Tentu saja seung woo harus maju.
Dengan santai ia maju ke depan. Para yeoja sepertinya tidak bisa menolak pesonanya yang cool, meski tadi sempat menudingnya dengan tatapan sinis. Bisik-bisik mengiringinya hingga ke depan.
Seung woo berdeham “Naneun Cha seung woo imnida, bagapseumnida.” Kemudian ia membungkuk sedikit dan hendak kembali ke tempat duduknya.
“Hey, kau mau kemana? Jelaskan asal usulmu dulu.”
Seung woo mendesah, lantas kembali lagi untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
***
Bell tepat berbunyi sebelum seung woo benar-benar tidur di kelas. Pelajaran sastra korea memang tidak sulit, tapi juga tidak menyenangkan, dan sungguh membosankan.
Seung woo merenggangkan otot-ototnya yang kaku, matanya tak sengaja bertemu pandang dengan seorang siswi lain yang duduk di sudut kanan kelas. Wajah gadis itu begitu putih, rambutnya yang hitam dan panjang membingkai wajahnya yang oval. Seung woo benar-benar takjub dan merasa aneh sekaligus. Karena seingatnya, meja terakhir di deret pertama di biarkan kosong. Namja itu mengucek matanya, memastikan kalau ia tidak sedang bermimpi. Dan ketika ia membuka mata, Ia hanya melihat ekor rambut gadis itu menghilang di balik pintu.
Sadar kalau dirinya tidak sedang bermimpi, Seung woo cepat-cepat mengambil hardcasing biolanya dan segera keluar dari kelas yang sudah kosong tersebut.
Seung woo berlari menuju lantai bawah. Entah apa yang menariknya, tapi ia terus saja mengejar gadis misterius itu. Gadis yang juga menenteng benda yang sama dengan miliknya. Itu mungkin bisa di jadikan alasan logika pikirannya saat ini. Yang jelas ia ingin berbicara dengan gadis itu.
Seung woo nyaris menubruk tong sampah saat ia melewati pintu samping. Ia bahkan tidak menyangka kalau sekolah ini seperti sengaja di desain khusus untuk siswa yang suka membolos.
Jalan keluar itu mengarah ke sebuah bukit kecil yang di tumbuhi pohon pinus. Di sana ia melihat gadis itu berjalan santai, masih dengan hardcasing di tangannya. Seung woo berpikir mungkin ini adalah tempat rahasia gadis itu jika ingin bermain biola. Tapi bukankah seharusnya sekolah itu memilki ruang music juga?
Daun kering bergesekan di antara celah sepatunya, saat sudah mencapai atas bukit tersebut seung woo mendapati dirinya hanya, sendiri. Tak ada gadis itu atau siapa pun, yang ada hanya-dirinya-sendiri tengah menghadap gedung sekolah tersebut. Suhu lebih rendah dari pada yang dia rasakan sebelumnya. Seung woo mengeratkan blazer-nya.
Tempat itu tidak terlalu buruk, malah bisa di katakan sebagai tempat yang sempurna untuknya, tentu saja memainkan sebuah pola nada akan sangat menarik. Seung woo segera melirik sebuah tempat di dasar kaki pohon pinus, berusah membuat bagian tubuh bawahnya senyaman mungkin saat menyentuh dasar tanah yang berlapis dedaunan kering. Namja itu tak ingin membuang waktunya untuk bisa mendapatkan perhatian gadis misterius itu, tak sedikit pun. Meski ia sendiri tidak bisa mencerna apa yang sedang ia lakukan.
Bow miliknya menggesesek lembut senar di samping telinganya, menciptakan nada-nada halus yang melengkung. Matanya terpejam menghayati setiap nada yang keluar melalui celah senar-senar itu. Seung woo masih menunggu. Dan benar saja, siluet itu berdiri tepat di wajahnya.
“Kau mengikutiku?” gadis itu berkata tanpa ekspresi.
Seung woo mendongak untuk memperjelas penglihatannya. Gadis itu tampak lebih pucat dari dekat. Mendesah, seung woo bangkit dan berkata “Tidak, aku hanya sedang berjalan-jalan. Itu saja. ” seung woo memutar tubuhnya menghadap pelataran sekolah, lalu duduk kembali. Gadis itu mengikuti perilaku seung woo.
“Aku yang lebih dulu menemukan tempat ini,” tukas gadis berambut hitam itu.
“Jadi, ini tempat favoritmu?”
“Tentu saja, ya. Dan kurasa ada alasan kenapa kau mengikutiku sampai kesini.” Tatapan gadis itu lurus ke depan dan, kosong.
“Hey, kita ini kan teman sekelas, kau lupa?” seung woo menaikkan satu alisnya dan menoleh ke arah gadis disampingnya, “Dan ngomong-ngomong aku belum tahu siapa namamu.” Lanjutnya, sebuah senyum terlukis di sudut bibirnya.
“Soo hwa, panggil saja begitu.” Tukasnya tanpa menoleh
“Aku Seung Woo.” Cukup lama mereka terdiam, Seung Woo tidak menyangka kalau gadis itu mau berbicara dengannya. Suatu keajaiban yang menguntungkan baginya.
“Jadi, kau juga suka biola? Dan…,”
Soo hwa memotong “Sangat, aku sangat mencintai seni music ini. Dia seperti bagian dari diriku, belahan jiwaku. Mungkin terdengar konyol, tapi itulah kenyataannya.” Soo hwa tersenyum miris, “Kau sendiri, apa yang kau lakukan dengan benda itu?” tambahnya cepat-cepat.
“Tentu saja bermain, dia… hidupku.” Kata Seung woo sambil mengangkat biolanya di antara jemarinya ke udara, memandanginya seolah-olah benda itu sebuah piala penghargaan yang luar biasa bernilai.
“Begitu yah? Bagaimana jika suatu saat ada orang yang tiba-tiba saja merampas benda itu darimu? Apa yang akan kau lakukan?”
Seung woo tersenyum miring mendapat pertanyaan aneh seperti itu, “Pertanyaan apa itu? Tidak ada yang bisa menghentikanku untuk bermain biola, tidak ada.” Ada penekanan dalam suara seung woo saat menyebutkan kata tidak ada. “Aku punya cita-cita menjadi seorang Violinist.” Matanya berbinar membayangkan dirinya berdiri bermain biola di atas panggung nan megah dan di saksikan oleh ribuan penonton.
“Itu berarti kau masuk ke tempat yang salah.” kata Soo hwa datar.
“Aku punya cukup alasan kenapa aku masuk ke sini, tapi jangan harap aku akan menceritakannya.” Ucapnya angkuh.
“Aku kan tidak tanya,” Tukas Soo hwa lalu bangkit seraya menepuk-nepuk rok-nya dari debu halus. “Gomawo.” Katanya sebelum pergi.
“Untuk?”
“Permainanmu.”
“emh, bisakah…, kau memperlihatkan keahlianmu juga?” ucap seung woo ragu.
Soo hwa hanya menoleh sedikit “Lain kali saja, sebentar lagi kelasmu akan di mulai.” Kata Soo hwa.
“Astaga! Kelasku!!!” pekik Seung woo yang baru tersadar, Ia hendak menyusul gadis itu, namun ia terkejut karena tidak ada siapa pun lagi di situ. Begitu senyap, hingga Ia bisa mendengar suara angin. “Kemana dia?”
###
“Aku pulang.” seung woo melempar sepatunya asal, namja itu berkeliaran sebentar lalu menenggak sebotol penuh air dingin.
Suasana rumah sangat sepi nyaris tidak ada beda dengan sebuah tempat pemakaman. Seung woo melirik sekilas kamar kakaknya, tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Padahal ia yakin kalau empunya tidak akan beranjak dari sana walau hanya sedetik. Hyun soo hanya beda tiga tahun dengan Seung woo, adiknya. Namja itu mengalami depresi berat akibat kejadian yang menimpa kekasihnya tiga tahun yang lalu. Itu yang seung woo dengar dari ibunya. Hyun soo menolak bicara pada siapapun, ia juga tidak ingin makan apapun kecuali nasi putih dan garam.
“hahhh…, dia benar-benar di butakan oleh cinta.” Desah Seung woo prihatin. Ia masih berdiri di depan pintu kamar Hyun soo. Namja itu tengah asik bergelantung di kusen jendela dengan posisi terbalik menghadap kebun belakang rumah. Padahal cuaca sedang mendung, tapi ia bahkan tidak peduli dengan angin musim gugur yang sangat dingin.
Seung woo menutup pintu kamar kakaknya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi ia sangat ingin memeluk Hyung-nya, namun ia teringat perkataan ibunya, jangan menggangunya ketika ia tengah bergelantungan seperti itu, itu sama halnya dengan membangunkan singa yang sedang tidur siang. Dan ia pernah tidak percaya dengan ucapan ibunya. Kemarin malam ia di serang dengan gunting karena mencoba menarik Hyun soo dari tempat peristirahatannya. Ia bersumpah tidak akan melakukan hal itu lagi.
Seung woo menarik kenop pintu tanpa bersuara, Ia hendak berbalik dan…
“Astaga!” desah Seung woo agak kaget mendapati ibunya berdiri tepat di belakangnya. “Eomma sedang apa di sini? Mengagetkanku saja.” Dengusnya lalu segera menjauh.
“Seung woo, kau tidak akan melakukan hal aneh lagi kan?” nada bicara ibunya kini terasa pahit.
“Eomma bicara apa? Aku ini anak baik-baik, aku tidak akan mungkin membuat kekacauan seperti Appa.” Ada penekanan dalam menyebutkan kata Appa, dan itu membuat ibunya terluka.
Ibu menghela nafas, “Baiklah eomma tahu, sekarang kau makan dulu ne? eomma akan memasak untukmu, kau ingin eomma masak apa eoh?” wajahnya kini di manis-maniskan, walau itu kelihatan sekali di paksakan.
“Tidak perlu, eomma istirahat saja, aku sudah makan tadi.” Seung woo segera angkat kaki menuju kamarnya di lantai dua, namja itu tidak tahan harus bertatap muka dengan ibunya.
Sejak Seung woo di beri tahu soal perceraian yang di lakukan oleh ayah dan ibunya tanpa persetujuan darinya, itu benar-benar membuatnya merasa seolah-olah dirinya tidak di anggap. Bagaimana tidak, saat itu Seung woo tengah melakukan study di San FranciscoConservatory of Music, Amerika. Tetapi tiba-tiba saja ibunya menelpon dan menyuruhnya untuk berhenti bermain music dikarenakan ayahnya berbuat criminal dan harus di tahan. Tentu saja itu seperti petir di siang hari. Padahal studi-nya hanya tinggal satu semester lagi, tetapi Ia di paksa hengkang karena tidak tidak ada lagi sosok ayah yang siap mengiriminya uang saku. Belum lagi Seung woo di kejutkan dengan keadaan keluarganya yang hancur berantakan. Perceraian itu terjadi saat Ia berada di Amerika, dan baru tahu dua tahun kemudian. Sungguh, Seung woo ingin bunuh diri saja kalau bukan karena kakaknya, Hyun soo--yang saat ini kondisinya lebih parah dari dirinya. Itu membuatnya malu kalau harus melakukan hal tersebut.
Seung woo berniat ingin berpacaran sebentar dengan biola kesayangan. Benda itu benar-benar bisa membuatnya bahagia sesaat seperti candu, bahkan ibunya sudah beruasaha menyuruhnya berhenti bermain--tapi tetap saja Seung woo tidak mengubrisnya.
###
Suara langkah sepatu mengisi relung koridor yang tampak sepi. Jam belajar sudah berakhir sejak 15 menit lalu, tapi Jun gu masih saja berkeliaran. Namja itu terancam tidak naik kelas kalau tidak menyelesaikan esay hari itu juga, jadilah Ia lembur malam itu.
“Guru sialan! Lihat saja kalau aku bertemu anakmu, akan kukerjai dia habis-habisan” batinnya licik.
Jun gu mempercepat langkahnya—sambil mengumpat tiada hentinya.
Sreeekkkk!!!
Suara gemerisik mengusik indra pendengarannya, namja berperawakan jangkung itu mulai gelisah. Bau asap juga menusuk-nusuk indar penciuaman Jun gu. Tak ayal Ia panic dan mencari sumber asap tersebut. Jun gu menengadah dan menemukan gumpalan hitam pekat yang membumbung di langit-langit.
“Sial!” umpatnya kesal. Jun gu segera mengambil langkah seribu demi menyelamatkan dirinya. Bodohnya--bukannya turun, Jun gu malah naik ke latai tiga tepat di pusat kobaran itu berasal. Nafasnya putus-putus menyaring oksigen di antar asap tebal. Hawa semakin panas, membuatnya semakin tercekik. Jun gu jatuh terduduk, otaknya sudah tak sanggup mengerti kenapa dirinya bisa sampai ke gudang atas. Matanya perih dan berair, suaranya pun mendadak hilang. Namja itu berusah menggapai-gapai sesuatu. Samar-samar Ia melihat wujud gadis manis dengan seragam yang sama dengan miliknya. Jun gu menghela nafas yang nyaris habis—lega mengetahui dirinya akan selamat.
Gadis itu menjulurkan jemarinya yang kurus, tanpa ba bi bu Jun gu segera meraihnya. Dan tepat saat itu juga, jari kurus itu berubah menjadi seutas senar merah. Jun gu membelalakkan matanya tat kala senar itu menjadi lebih banyak melilit lehernya. Jun gu merasakan perih sekaligus rasa terbakar seperti di jilati api di sekeliling lehernya. Senar itu membelitnya tanpa ampun—menarik tubuh kurus itu hingga tak memijak. Darah merembes melalui celah tipis di lehernya. Tubuh Jun gu mengejang tepat sebelum otot-otot itu berhenti karena mati lemas, menyisahkan lidah yang menjulur keluar.
###
Esok paginya, seluruh siswa di kejutkan dengan siulan sirene mobil polisi yang meraung-raung di depan gerbang sekolah yang mereka banggakan itu. Secepat kilat di langit secepat itu pula kabar tentang siswa yang bunuh diri itu merebak seantero sekolah.
“Menurutmu kenapa Jun gu bunuh diri?” Tanya Su Bin saat makan siang di kantin.
“Mungkin saja dia kalah taruhan, dia kan anggota JB Club yang norak itu!” tukas Hyun Ji sambil melahap hot dog-nya.
“setahuku, dia itu frustasi karena Jung Seongsangnim mengancamnya tidak naik kelas kalau tidak menyelesaikan esay malam kemarin.” Sahut Lee Young dengan semulut penuh kimchi. Ketiga gadis itu sedang makan siang seperti biasa sambil bergosip tentang kasus bunuh diri yang menimpa teman sekelas mereka, Park Jun Gu.
“Aish Jjinja?! Mana mungkin namja kasar seperti dia takut dengan ancaman guru apalagi sampai bunuh diri. Dan lagi, bunuh diri hanya karena kalah taruhan? Ck,cengeng sekali dia.” Cibir Su Bin berapi-api. “Lagi pula yang di pertaruhkan dalam club bodoh mereka, yah paling tidak jauh-jauh dari yang namanya wanita.” Su Bin menyeruput cappuchino-nya. “So, tidak mungkin dia bunuh diri hanya karena masalah tersebut!” lanjutnya sambil menerawang.
“Benar juga, Jun Gu kan tampan, jadi wanita mungkin bukan masalah besar baginya.” Lee Young mengangguk membenarkan.
“Terus kenapa???” pertanyaan itu menggelantung di bibir Hyun Ji. Mata gadis itu sedari tadi tak lepas dari sosok jangkung yang duduk di meja seberang. Hyun Ji asik memandangi Seung woo yang tengah menyantap makan siangnya sendirian.
“Kalian pernah dengar tidak sejarah tentang ruang music kita?” Su Bin mulai berbicara dengan sangat hati-hati. Takut-takut kalau ada yang mendengar omongan mereka. Di belakangnya Seung Woo duduk dengan manisnya sambil mendengarkan mp3 yang sebenarnya tidak tersambung kemanapun. Licik, tapi itu berhasil mengelabui Su Bin dan teman-temannya.
Lee Young dan Hyun Ji hanya menggeleng kikuk. Su Bin mendesah kesal melihat temannya selalu ketinggalan gosip-gosip menarik. “Dengar aku baik-baik. Aku tidak akan mengulangi lagi, arraseo?!” Kedua yeoja yang duduk di hadapannya mengangguk heboh. “Dulu, ah! Ani, tepatnya 3 tahun yang lalu sekolah ini punya ruang music yang super lengkap, kalian tahu itu dimana?” Lee Young dan Hyun Ji kembali menggeleng dengan heboh. “Ruangan itu ada di lantai 3, tempat—di mana—Jun—Gu—bunuh—diri.”
“Lalu apa yang menarik?” potong Hyun Ji tidak sabar.
“Aku belum selesai!” Ucap Su Bin gemas. “Kalian pasti tidak tahu kan kenapa ruangan itu jadi sebuah gudang tidak terpakai?”
“Aku tahu, itu kan karena dulu pernah terjadi kebakaran, makanya ruangan itu tidak di pakai lagi.” Kata Lee Young dengan antusias.
“huft, yah itu benar. Dan kalian tahu penyebab kebakaran itu terjadi?” Tanya Su Bin dengan satu alis di naikkan.
“Anio,” ucap Lee Young dan Hun Ji serempak.
Su Bin tersenyum puas, “Karena, di ruangan itu pernah terjadi pemerkosaan, yang korbannya sengaja di gantung di ruangan itu, supaya kejahatan si pelaku tidak terbongkar. Parahnya mereka membakar ruangan itu untuk menghilangkan jejak.” Papar Su Bin antusias.
“Mwo???” pekik Lee young dan Hyun ji bersamaan. Membuat seisi kantin melirik tajam kearah mereka.
“Ck, pelankan suara singa kalian.” Su Bin mencibir halus.
“Mianhae, lalu apa yang terjadi dengan si pelaku? Apa mereka di tahan polisi?”
“Sayangnya, sampai saat ini tidak ada yang tahu siapa pelakunya, bahkan polisi sudah menginterogasi semua orang yang kenal denganSoo Hwa.”
DEGG!
Seung Woo merasa kalau Ia mengenal seseorang dengan nama Soo Hwa.
“Tapi saat polisi ingin menginterogasi kekasihnya, namja itu mendadak bisu.”
“Bisu kenapa?” Tanya Hyun Ji polos.
“Maksudku, bukan bisu yang begitu, tapi dia tutup mulut katanya sih, dia mengalami depresi berat.”
Hyun Ji hendak menyela tetapi bell berteriak mendahuluinya.
Seung Woo sibuk berkutat dengan pikirannya, nama itu. Benar-benar tidak asing baginya, tapi bagaimana mungkin?
Pertanyaan itu menggelantung di pikirannya. Sepanjang jalan pulang ke rumah, Seung Woo tak henti-hentinya mengolah kalimat-kalimat yang di lontarkan gadis-gadis itu saat makan siang tadi. Rasa penasarannya bertambah kuat karena Ia tidak bertemu dengan Soo Hwa hari itu.
Dengan langkah gontai Seung Woo menaiki anak tangga menuju kamarnya, Ia sempat melirik ke kamar Hyun Soo tapi Ia hanya mendapati pintu itu terkunci.
Bunyi keriut di anak tangga terakhir membuatnya ngilu, rumah itu benar-benar sepi bak istana tua yang terlupakan. Ibunya baru akan pulang pukul 8. Sejak perpisahan itu ibu Seung Woo terpaksa bekerja sebagai buruh di pabrik arak beras dekat rumah mereka. Tak ada satu pun harta yang bisa mereka pakai, selain rumah peninggalan halmonie dan harabojie.
Seung Woo membanting pintu kamarnya hingga membuat dindingnya bergetar dan nyaris membuat figura yang ada di nakas jatuh. Untungnya Seung Woo sangat gesit. Namja itu melihat gambar di dalam figura itu sebentar sebelum Ia meletakkannya kembali.
“Hyung, kau kemana saja? Kenapa tidak ikut bermain?” seorang bocah kecil laki-laki sedang meneriaki Hyung-nya. Sekujur tubuh bocah itu penuh lumpur. Membuat kakaknya melirik jijik kearahnya.
“Mianghae, aku baru saja mengantar Jung Mi pulang.” Kata kakaknya sambil mengulurkan tangannya. Lalu sekuat tenaga menarik adiknya agar keluar dari kubangan sawah.
“Jadi kau sekarang lebih peduli dengan gadis centil itu?” pekik anak laki-laki yang berlumpur itu, Ia nyaris menangis karenanya.
“Dasar cengeng! Dengar yah, Jung Mi tidak centil tapi manis.” Ucapnya dengan berbinar-binar. “Pokoknya kalau besar nanti aku akan menikahinya.” Bocah yang lebih tua mulai berkhayal.
“apa itu menikah?”
“Menikah itu adalah saat appa dan eomma tidur bersama dan punya anak seperti kita.”
“Jeongmal? Kalau begitu aku juga mau menikah!” Pekik bocah yang berlumpur sambil melompat-lompat kegirangan.
“Benar, kau juga harus melakukan itu kalau sudah besar.”
“tidak bisa sekarang yah?”
“Ani, kau harus tumbuh besar supaya bisa punya anak, nanti kalau kita sudah besar kita harus menikah bersama, OK?”
“Shireo! Aku mau menikah dengan gadis cantik.” Bocah itu menendang kaleng kosong.
“Maksudku kita harus menikah dalam altar yang sama, kalau kata temanku itu di sebut menikah ganda.”
“Pasti keren, ya kan?”
“tentu saja.”
“kalau begitu tunggu aku besar ne, jangan menikah dulu ne?”
Kedua bocah itu kemudian pulang dengan menuntun sepeda mereka yang kempes.
Seung Woo menghempaskan tubuhnya ke kasur busa, lalu meringis ketika jarinya membentur sudut meja kecil di samping tempat tidur. Seung Woo benar-benar menyesali keadaan Hyung-nya. Andai saja Ia tidak harus sekolah di luar negeri mungkin Ia bisa sedikit menghibur kakaknya itu. Hyun Soo pasti sangat tertekan dengan kondisi keluarganya yang berantakan apalagi harus kehilangan orang yang di cintainya dalam kurun waktu yang sangat dekat. Seung Woo sendiri tidak bisa membayangkan kalau seandainya Ia yang berada di posisi Hyun Soo.
Seung woo menarik keluar biola dari hardcasing-nya. Detik berikutnya alunan-alunan nada mulai menggema di ruangan yang sempit itu. Untuk saat seperti ini, tak ada yang lebih baik dari alunan musik ‘Dust In The Wind’
Mata Seung Woo nyaris tertutup sempurna menikmati setiap suara yang di hasilkan senar-senar itu. Bayangan tentang gadis misterius itu berenang kembali kepadanya. Sangat nyata seolah-olah gadis itu benar-benar berpijak di lantai kayu kamarnya. Seung woo sangat ingin membuka matanya lebar-lebar tapi Ia takut kalau itu Ia lakukan bayangan Soo Hwa akan lenyap seperti debu di udara.
Bola mata Seung Woo mengikuti setiap gerakan anggun Soo hwa, gadis itu kini berjalan dengan manis ke samping tempat tidurnya—menyentuh sebuah figura kecil yang di isi dua bocah laki-laki yang saling membuat tanda skindlove.
Seung Woo seperti di hipnotis oleh bayangan Soo Hwa, setiap lekukan dan gerakan Soo Hwa seolah-olah Ia adalah seorang dewi yang begitu indah.
Mata Seung Woo perlahan membuka ketika music berhenti—bersiap kalau-kalau bayangan itu akan mengabur dari penglihatannya. Namun yang terjadi malah sebaliknya, Soo Hwa masih berdiri di sana membelakanginya.
“Mainkan lagi, Seung Woo…” Soo Hwa berseru dengan sangat halus.
Tapi seolah-olah perkataan itu terhembus begitu saja melewati rongga telinga Seung Woo, Ia tidak bisa mencerna kalimat itu karena pikirannya tengah berperang antara percaya dan tidak tidak percaya.
“Seung Woo,”
Seung Woo masih tak bergeming.
“Kubilang mainkan!” suara itu menjerit kedalam telinga Seung Woo, dan pada saat yang sama Ia melihat sosok yang tak berbentuk berdiri tepat di tempat Soo Hwa berdiri tadi. Seung Woo terjerembab ke belakang ketika sosok yang meleleh itu terbang ke arahnya.
Nafas Seung Woo terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat. Ia meneliti kamarnya dengan cepat, takut-takut sosok itu masih ada di sana. Sedetik kemudian Seung Woo membuang nafas dengan kasar, menyadari kalau itu hanya sebuah mimpi.
Entah sudah berapa lama Ia tertidur, tapi yang Seung Woo tahu, sekarang sudah malam. Rasa haus mengerogoti tenggorokannya. Seung Woo tak sabar ingin meneguk segelas penuh air. Dengan langkah di seret Ia menuruni tangga. Keadaan masih sama seperti saat Ia memasuki ruangan berplester abu-abu itu. Seung Woo melirik pintu yang berada di sisi kiri tangga. Pintu itu nyaris terbuka sempurna. Seung Woo tidak bisa menahan dorongan untuk sekedar melihat kondisi kamar itu. Seun Woo sangat berharap kalau Ia masuk, Ia akan menemukan senyum kakaknya yang dulu.
Kamar itu kosong, dengan setumpuk buku berserakan di lantai. Seung Woo tergelitik untuk melihat buku-buku itu. Sebelumnya Ia tidak pernah melihat isi kamar itu secara keseluruhan. Ruangan dengan dinding berlapis cat minyak yang coreng moreng, yang kata ibunya, itu hasil karya Hyun Soo. Abstrak.
Seung Woo mengambil salah satu buku bersampul biru. Selembar foto melayang di udara dan mendarat dengan anggun di atas permadi merah. Seung Woo mengambil foto tersebut dengan sebelah tangannya yang lain.
DEGGG
“Soo hwa,” nama itu menggantung begitu saja di bibir Seung woo. Seung Woo masih tidak percaya apa yang telah Ia lihat. Hyun Soo dengan mesranya menggandeng seorang gadis berperawakan manis yang sangat mirip dengan Soo Hwa. Senyum bahagia terpancar dari sejoli itu. Seung Woo menebak kalau gadis itulah penyebab kakaknya depresi.
Hyun Soo tiba-tiba saja masuk dengan sebuah pemantik api di tangannya. Seketika itu Seung Woo menjatuhkan buku yang tadi Ia ambil. Hyun soo benar-benar tampak berantakan, kaus oblongnya basah oleh keringat, shortpants-nya penuh dengan lumpur yang mengering. entah apa yang sudah dia lakukan tadi. Dengan muka panik, Seung Woo bergegas keluar dari kamar Hyun Soo, tapi tangan kekar Hyun Soo menahan Seung Woo.
“Jangan pernah melakukannya lagi, araseo?”
Seung woo menelan saliva yang seperti batu. Bagaimana tidak, ini kali pertama kakak laki-lakinya itu berbicara dengannya.
“Siapa dia?” bisik Seung Woo tak kalah tajam
“Keluar,” Hyun soo melepaskan pegangannya tanpa menghiraukan pertanyaan Seung Woo.
“Hyung, bisakah kita bicara sebentar?” bujuk Seung woo.
“Kubilang keluar!” bentak Hyun soo pada adiknya. Namja itu seperti batu hatinya, begitu takut untuk mengatakan apa yang seharusnya sejak dulu Ia ceritakan.
Sejujurnya Seung Woo masih ingin berbicara dengan Hyun Soo, tapi Ia terpaksa mengalah mengingat kondisi emosional Hyun Soo yang belum stabil. Seung Woo takut kalau hyung-nya akan berbuat nekad yang bisa membahayakan dirinya.
###
Bulan September benar-benar dingin, pohon amur maple telah berubah warna merah menyala. Seung Woo duduk di bersandar di bawahnya. Tangannya masih memegang benda berpelitur cokelat keemasan itu.
Sudah hampir dua minggu Ia mencari Soo Hwa, tapi gadis itu tak kunjung datang. Seung Woo yakin ada yang tidak beres dengan gadis itu. Ia sudah menanyakan keberadaan Soo Hwa pada teman sekelasnya. Namun mereka menganggap kalau Seung Woo tengah bermimpi, karena sebenarnya tidak ada siswi yang bernama Soo Hwa di kelas itu. Dan Seung Woo baru sadar kalau setiap kali seongsangnim mengabsen murid, Ia tidak pernah mendengar nama Soo Hwa di sebut.
Seung Woo mulai meragukan pertemuannya waktu itu hanyalah mimpi, tapi lagi-lagi ingatan tentang foto Soo Hwa yang ada di kamar Hyun Soo membuatnya yakin kalau gadis itu memang nyata. Setiap harinya Seung Woo sengaja bermain biola di atas bukit pinus, berharap kalau Soo Hwa akan muncul di sana dengan senyum datar miliknya.
Bulan September hampir berakhir, sudah ada dua siswa lagi yang mati dengan cara yang sama dan di tempat yang sama. Seung Woo berharap kalau dugaan terburuknya tidak benar-benar nyata.
Satu-satunya narasumber yang ada saat ini tidak bisa menjawab semua pertanyaannya. Hyun Soo masih tidak bisa di ajak bicara. Setiap Seung Woo pulang, Ia hanya mendapati pintu kamar Hyun Soo terkunci. Jadi mau tak mau Seung Woo harus segera menemukan Soo Hwa, meski ada kemungkinan Gadis itu adalah sosok yang ada di mimpi buruknya.
Seung Woo beranjak dari sana. Ia memutuskan untuk bermain biola lagi, yang tentunya dengan cara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak, Ia pasti akan dapat masalah lagi dari geng bodoh di kelasnya.
Sebuah lagu berjudul Trap mengalun lembut melalui senar-senarnya. Seung Woo begitu terhanyut hingga Ia tidak sadar kalau ada seseorang yang sedang mengamatinya dari jauh.
Mendadak Seung Woo menghentikan permainannya ketika Ia merasakan seseorang berjalan di belakangnya. Dan Ia tahu siapa orangnya.
“Akhirnya kau datang juga.” Seung Woo tersenyum miring.
“Aku tahu apa yang ingin kau ketahui, dan apa yang sebenarnya kau lakukan.” Suara itu lebih dingin dari yang pernah Seung Woo dengar. Itu membuatnya sedikit gugup. “Bagaimana bisa?” Seung woo mulai merasa mual dan panas sekaligus dingin.
“Sebelumnya aku benar-benar berterima kasih padamu,” Soo Hwa berkata dengan sangat halus membuat Seung Woo mendadak kelu. “Aku yakin kau tahu soalku, tapi kau menolak pikiran itu, ya kan?” kali ini Soo hwa yang tersenyum miring.
Seung Woo ingin membalas ucapannya, tapi lidahnya tidak bisa bergerak. Keringat dingin mulai mengucur dari keningnya. Kini Ia benar-benar yakin kalau gadis yang ada di sampingnya kini ada kaitannya dengan kematian siswa laki-laki di sekolahnya.
“Kau penasaran kenapa aku melakukannya?” jemari Soo Hwa yang sedingin es menyentuh kulit Seung Woo. Seung Woo ingin menolak dan berteriak, akan tetapi seolah ada sihir yang membelenggu tubuhnya, Seung woo benar-benar tidak bisa melawan.
“Itu karena mereka telah mengambil semuanya dariku, biolaku, hidupku, bahkan satu-satunya harta yang paling kujaga pun ikut mereka rampas.”
Seung woo ingin bertanya “siapa? Siapa yang merampasnya darimu? Siapa kau sebenarnya?” tapi kata-kata itu hanya berteriak-teriak di dalam hatinya tanpa mau keluar.
Seolah bisa mendengarnya, Soo hwa berkata “Aku hanyalah korban, Seung woo. Aku sebenarnya tidak ingin melakukan ini tapi…,” Soo hwa melepas jemarinya. “Aku tidak bisa tenang kalau biolaku tidak di temukan dan, Hyun Soo tidak ikut bersamaku.” Lanjut Soo hwa.
Seketika Seung Woo merasa seolah dunia berputar di sekelilingnya. Ia tidak menyangka kalau dugaan terburuknya menjadi kenyataan. Dan Ia merasa seolah telah di permainkan.
“Dan kau tahu siapa yang menyebabkan kematian teman-temanmu? Itu karena…, kau.” Bisik Soo hwa untuk yang terakhir kalinya, sebelum angin membawanya pergi.
Seung woo merasa bisa bernafas lagi. Sebelum tadinya sempat merasa tercekik akibat ulah Soo Hwa, mungkin. Seung woo masih bingung atas apa yang barusan terjadi padanya.
Dan apakah maksud perkataan Soo Hwa yang terakhir?
###
“MWO? Di skors? Apa guru tidak salah?” Seung woo bertanya dengan keras pada Lee seongsangnim. Namja itu tengah berada di ruangannya, tadi tiba-tiba saja Ia di panggil keruangannya. Dan sekarang Ia di skors hanya karena Seung woo bermain biola di bukit samping sekolah.
“Aku tidak akan salah dalam menghukum siswa yang melanggar peraturan. Kau tahu? Tindakanmu yang ceroboh ini telah menyebabkan malapetaka di sekolah ini. Dari awal aku sudah memperingatkanmu untuk jangan memainkan benda itu di lingkungan sekolah, tapi kau sepertinya kau punya pendengaran yang buruk.” Jelas Lee seongsangnim.
“Tapi, aku main di sana karena sekolah ini tidak punya ruang music. Aku tidak ingin membuat siswa lain terganggu.”
“Terserah apa katamu, tapi hukumanmu tetap tidak bisa di rubah.” Ucap Lee seongsangnim bersikekeuh.
“Tapi kenapa? Malapetaka apa yang seongsangnim maksud? Aku tidak bisa terima begitu saja.” Seung woo tetap tidak mau kalah, namja itu perlu penjelasan lebih.
“Kau sudah masuk terlalu jauh, Cha Seung woo. Sekarang keluarlah, renungkan apa yang sudah kau lakukan, lalu kembali ke sini setelah kau tahu apa itu. Kita bertemu dua minggu lagi.” Kata Lee seongsangnim mengakhiri pertemuan mereka.
Tak ada yang bisa Seung woo lakukan selain mencari cara supaya, teror itu tidak terjadi lagi malam ini.
###
Gelap sudah menyelimuti sekolah itu, seluruh siswa telah pulang. Tidak seperti bias anya ada sekolah malam, khusus untuk beberapa bulan kedepan sekolah malam ditiadakan, ini demi keselamatan siswa.
Seung woo keluar dari tempat persembunyiannya. Ia sudah menduga kalau malam ini akan ada korban lagi, sehingga Ia memutuskan untuk tidak pulang. Meskipun Ia tidak tahu siapa korban selanjutnya, tapi Ia yakin kalau mala mini aka nada peristiwa besar, karena hari ini bertepatan dengan hari kematian Soo Hwa.
Seung woo yakin biola Soo hwa ada di suatu tempat di bagian sekolah ini, tapi dimana?
Seung woo hendak turun kelantai bawah, tapi langkahnya terhenti karena tiba-tiba seorang laki-laki mendadak melintas di hadapannya. Untung saja namja itu tidak melihatnya.
Samar-samar Seung woo melihat namja itu berjalan kearah kiri gedung sekolah. Namja itu berperawakan tinggi tegap, dengan sebuah topi menutupi rambutnya. Namja itu sepertinya bukan siswa sekolah itu, karena Seung woo tidak melihatnya mengenakan seragam SMA. Tanpa sadar Seung woo sudah berdiri di atas bukit samping sekolah, cahaya bulan merembes melalui celah dedaunan pinus yang mulai rontok.
Tangan pria itu menggenggam sebuah kotak perkakas kecil. Seung woo berusaha sebisa mungkin agar langkahnya tidak terdengar, Ia ingin melihat lebih dekat apa yang namja itu lakukan.
“Aku datang chagia.”
Seung woo mendengar namja itu berbicara sendiri. Suaranya seperti tidak asing baginya. Sedetik kemudian, Seung woo baru sadar kalau itu adalah suara Hyun Soo, kakaknya. Seung woo hendak melangkah keluar dari persembunyiannya tapi sebuah siluet muncul di sana, dan itu sukses membuat Seung woo mengejang. “Soo hwa?” ucapnya tanpa suara.
“Akhirnya kau datang, apa kau sudah menemukannya?” suara halus Soo hwa membuat bulu Seung woo meremang. Di tambah angin malam musim gugur yang sangat dingin, Seung woo menyesal tidak memakai mantelnya yang ada di loker.
“Aku datang untuk menepati janjiku,” suara Hyun soo bergetar antara dingin dan takut. “Tapi sebelumnya kau harus berjanji kalau kau tidak akan datang dan mengganggu adikku lagi.” Lanjutnya membuat Seung woo benar-benar terkejut.
“Aku tidak bisa berjanji apapun untukmu, setelah apa yang kau lakukan.”
“Tapi kita sudah melakukan kesepakatan, kukira…,”
“Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan menyakiti Seung woo, karena berkat dirinya aku bisa bangkit kembali. Kau tahu? Permainannya sungguh luar biasa. Dan berkat itu aku rasanya seperti hidup kembali.”
“Tapi kau sudah mati.” Tukas Hyun soo tak sabar, membuat raut wajah Soo hwa berubah menjadi monster mengerikan.
Di balik pohon pinus sana Seung woo sedang merutuki kebodohannya, ternyata gadis hantu itu telah memperalat dirinya sebagai sumber kekuatan.
“Jangan pernah berteriak kepadaku!” suara yang halus tadi kini telah berubah menjadi suara geraman yang menakutkan. Hyun soo benar-benar terkejut atas perubahan diri soo hwa. Kulitnya mengelupas mengeluarkan darah dan nanah yang baunya sangat menusuk. Seragamnya sudah tak berbentuk lagi, dan matanya menjadi semerah darah melotot ke manic mata Hyun soo.
“Sekian tahun aku menunggu kesempatan ini, dan ini terjadi berkat adikmu yang manis itu. Sia-sia usahamu selama ini untuk menghindar dariku, Hyun soo-ku sayang.”
“Dasar menjijikkan.” Caci Hyun soo penuh kebencian
“Kau yang membuatku menjadi menjijikkan, kau lupa?” cibir Soo hwa, tangan kurus itu mencekik leher Hyun soo. Namja itu megap-megap di tangannya.
Seung woo tidak tahan lagi melihatnya, Ia memberanikan dirinya keluar.
“Hentikan itu, Soo hwa.” Seung berteriak dengan sangat lantang.
Seketika itu Soo hwa menjatuhkan tubuh Hyun soo ke tanah. Soo hwa melayang ke arah Seung woo, gadis itu berubah cantik lagi dalam satu kedipan mata Seung woo.
“Seung woo sayang, kau mau kan mengambilkan biola milikku di dalam jurang sana?” suara lembut tadi terdengar lagi, soo hwa menunjuk ke arah sisi lain bukit itu.
Bagai di hipnotis, Seung woo berjalan lemah ke arah jurang itu. Hyun soo berteriak memanggil Seung woo tapi namja itu sama sekali tidak mendengarnya.
“Aku yang memanggilnya, aku juga yang akan mengusirnya” ucap Seung woo tanpa berhenti selangkah pun.
“Andwe Seung woo-ya! Aku yang salah, aku yang menyebabkannya mati. Aku yang salah tidak memperingatkanmu lebih awal.” Hyun soo menarik-narik lengan Seung woo. Tinggal beberapa langkah lagi menuju jurang itu. Sementara Soo hwa hanya berdiri, tidak lebih tepatnya Ia melayang-layang menyaksikan kakak-beradik itu menyongsong maut.
“Tunggu, kau tidak boleh mati. Jangan melompat.” Soo hwa mulai gelisah, kalau Seung woo mati, maka tidak akan ada yang akan memainkan music lagi untuknya. Tapi sayangnya Seung woo tetap tidak mengikuti perintah Soo hwa. Seung woo sudah akan melompat tapi Hyun soo mendahuluinya, namja itu terjun bebas dan masuk ke dalam kubangan air yang berbatu.
“Hyung!!!” Seung woo memekik di ujung tebing curam.
Sedangkan Soo hwa hanya tersenyum puas. Air mata Seung woo sudah tumpah, namja itu berbalik menghadap Soo hwa yang tengah tersenyum penuh kemenangan.
“Aku tahu kakakku salah, kumohon maafkan dia. Tapi aku juga minta maaf, kalau aku tidak bisa lagi menjadi bonekamu.” Dengan itu Seung woo menjatuhkan dirinya ke dalam ke gelapan itu. Angin menderu di telinganya, di atas sana Ia melihat Soo hwa berteriak kesetanan. Bayangan indah tentang gadis itu terlintas di depan bola matanya sebelum Ia menutup matanya untuk selamanya.
~FIN~